Bakteri dan Filosfer
Bakteri adalah mikrooganisme prokariot bersel tunggal yang hanya dapat dilihat morfologinya dengan bantuan mikroskop. Berdasarkan penampakan morfologinya, bakteri dikelompokkan ke dalam bentuk ; batang (bacillus), koma (vibrio), per (spiral) (Bergey’s Manual 1994). Niche ekologinya sangat luas hampir bisa diketemukan di lingkungan manapun termasuk ; air, tanah, aerob-anaerob, air mendidih, kawah gunung berapi, dasar laut, dan bahkan dalam tubuh kita (Suwanto 1995). Bakteri ini telah ada jauh sebelum manusia ada, kurang lebih 3,5 milyar tahun yang lalu (Brock et al 2000).
Proses evolusi selama rentang waktu yang panjang tersebut membuat tingginya keragaman bakteri sehingga yang bisa diketahui orang pada saat ini tidak lebih dari 5%-nya (Suwanto 1995). Selebihnya belum diketahui oleh orang bnanyak termasuk opara ahli karena sebagian bakteri bersifat ada namun tidak bisa dikulturkan di labolatorium (viable but non culturable).
Keragaman bakteri bisa dilihat dari berbagai sudut pandang seperti ; morfologi, fisiologi, dan genetik. Tiap-tiap habitat yang berbeda menberikan keragaman yang berbeda pula. Contoh habitat yang sering dihuni oleh bakteri adalah daun. Tiap tanaman mempunyai daun yang berbeda, baik dari segi bentuk, ukuran, maupun eksudat yang dikeluarkannya. Perbedaan tersebut menyebabkan bakteri yang menghuninya jugha berbeda, walaupun pada tanaman tertentu ditemukan populasi bakteri yang sama.
Filosfer merupakan salah satu habitat mikroorganisme saprofit. Beberapa di antaranya merupakan mikroorganisme antagonis (Preece and Dickinson, 1971). Sedangkan populasi bakteri yang menghuni permukaan daun disebut dengan filoplen (phyllo = daun, plane = permukaan). Pemakaian filosfer lebih disukai karena cakupannya lebuh luas.
Bakteri yang mendiami permukaaan daun sangat bervariasi sesuai dengan jenis tanamannya oleh karena setiap tanaman menghasilkan eksudat tertentu yang sesuai dengan bakteri tertentu. Variasi tanaman dari dataran rendah ke dataran tinggi menyebabkan variasi bakteri yang hidup pada permukaan daunnya. Dari bakteri-bakteri yang menghuni permukaan daun salah satu diantaranya adalah bakteri pembentuk inti kristal es yang meliputi lima galur bakteri, yaitu ; Pseudomonas syringae, Pseudomonas viridiflava, Pseudomonas fluoresces, Erwinia herbicola, dan Xantomonas campestris pv translucens. Kelima spesies ini mampu mengkatalisis C, bahkan ada yang dapat membentuk pembentukan es pada suhu di atas -10 0C. Pembentukan inti es oleh bakteri ini pada temperatur di atas suhu –5 0C di habitat alaminya merupakan fenomena yang menarik (Gurian-Sherman dan Lindow 1993).
Kehadiran bakteri pembentuk kristal es pada permukaan daum pada pohon-pohon bertajuk lebar di dataran tinggi misalnya tegakan-tegakan pada hutan hujan tropis diperkirakan dapat bertindak sebagai inti kondensasi yang menginisiasi terbentuknya hujan. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran bakteri ini pada permukaan daun Eidelweis (Anaphalis javanica) semakin berkurang dengan semakin tingginya suhu lingkungan sehingga makin jarang dijumpai pada dataran rendah (Wilson dan Window 1994). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) adalah hutan hujan tropis yang kaya akan vegetasi dan mempunyai temperatur udara yang relatif rendah. kondisi ini memungkinkan peluang besar untuk menemukan bakteri filosfer pembentuk kristal es.
Bakteri filosfer pembentuk inti es diketahui mempunyai potensi yang besar misalnya untuk membuat hujan dan salju buatan, industri pengawetan makanan dan minuman dengan pembekuan, dan rekayasa gen pelapor (reporter gene engineering). Disamping itu dalam bidang pertanian, bakteri pembentuk es juga diketahui penyebab luka beku (frost injury) tanaman komoditi (Suwanto 1994; Wahyudi AT 1995; Lindow 1989).
Ditemukannya isolat positif nukleasi es tidak lepas dari pengaruh umur jaringan daun. Daun X yang diambil umurnya lebih tua (ditunjukkan dengan warna hijau tua), daunnya lebih tebal, dan permukaannya lebih luas dibandingkan kedua daun lainnya.Umur berpengaruh terhadap eksudat yang dikeluarkan, yaitu semakin tua daun maka eksudat gula maupuan asam amino yang dikeluarkan juga akan semakin banyak, sehingga bakteri lebih suka menghuni daun yang tua. Pada Eidelweiss, jaringan daun yang diambil tergolong masih muda (dekat ujung apeks karena masih melekat calon bunga) dan permukaan daunnya kecil sehingga wajar jika populasi bakteri rendah dan waktu uji aktivitas nukleasi menunjukkan hasil negatif.
Populasi bakteri pembentuk nukleasi es sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi, sedangkan jumlah populasi dipengaruhi oleh luas permukaan daun. Pada daun Cantigi Gunung permukaan daunnya relatif kecil (kurang lebih 2.7 cm2), jauh lebih kecil dari daun X (kurang lebih 46 cm2), sehingga mungkin saja hal ini mempengaruhi populasi bakteri yang menghuninya. Dari total bakteri yang ada diketahui hanya 1/1000 dari populasi yang membentuk nukleasi aktif. Pada kasus daun Eidelweis maupun Cantigi, bukan berarti tidak ada bakteri pada daun tesebut karena dalam uji aktivitas nukleasi yang paling menentukan adalah populasi total bakteri nukleasi. Untuk dapat membentuk nukleasi es bakteri nukleasi harus mencapai quorum sensing, yaitu jumlah minimal yang harus dipenuhi oleh bakteri. Di bawah jumlah minimal tersebut bakteri tidak mampu membentuk nukleasi es. Hal ini behubungan dengan protein INA yang dihasilkan bakteri tesebut. Protein INA merupakan protein unik yang dihamparkan pada membran luar sel bakteri pembentuknya. Protein tersebut disandikan oleh satu gen tunggal yang disebut gen ice atau ina (ice nucleation activity).
Efektifitas protein pembentuk kristal es ditentukan oleh penataan dipermukaan membran serta tingkat agregasinya. Pada populasi bakteri yang tinggi, penataan dan agregasinya kompak sehingga jika satu protein sudah membetuk kristal es, maka protein yang lainnya akan lebih mudah terinisisai. Suhu dalam hal ini sangat mempengaruhi, yaitu ketika suhu rendah (kurang dari 0 0C) air berada dalam keadaan metastabil. Kemudian protein INA yang bersifat hidrofilik akan mengkatalisis pembentukan es. Dengan terbentuknya satu kristal es maka protein yang disusun kompak tersebut akan langsung menginisiasi air disekitarnya menjadi es juga.
Eidelweis dikenal sebagai bunga yang tidak mudah layu, sehingga lazim disebut bunga abadi. Kemampuan Eidelweiss untuk tidak mudah layu kemungkinan disebabkan oleh faktor eksudat dan lapisan lilin tebal yang dimilikinya. Eksudat tersebut mungkin lebih berfungsi sebagai senyawaan anti mikrob (bakterisida) yang menghambat pertumbuhan bakteri filosfer permukaan daun. Sedangkan lapisan lilin tebal bersifat hidrofobik juga menghalangi kolonisasi bakteri. Hubungannya dengan bakteri nukleasi es, protein INA bakteri nukleasi es bersifat hidofilik, yang menyukai adanya air pada permukaan daun (Wahyudi AT 1995). Lapisan lilin tebal pada Eidelweiss akan menciptakan kondisi hirofobik, yang sangat bertentangan dengan protein bakteri yang hidrofilik.
Ekologi Bakteri Pembentuk Kristal Es
Kebanyakan bakteri pembentuk kristal es adalah bakteri filosfer. Total permukaan daun yang dihuni oleh bakteri mencapai 0,1-1%, dan dari total tersebut lebih dari 90% mati karena desinfektan tropikal atau UV. Di samping harus bertahan terhadap radiasi UV, bakteri juga harus dapat bertahan dari keadaan yang berubah-ubah dengan cepat. Bakteri filosfer secara langsung terekspos dengan lingkungan, dimana angin, hujan, perubahan suhu, dan pemangsa bisa setiap saat membunuhnya. Di satu sisi bakteri filosfer juga harus berkompetisi dengan bakteri lainnya untuk mendapatkan nutrien yang serba terbatas pada permukaan daun. Bakteri yang punya kesamaan genotig (punya kesamaan habitat ekologi yang sama) akan berkompetisi langsung pada sumber daya yang terbatas ketimbang dengan bakteri yang lain. Untuk dapat tetap “survive” dari kondisi seperti di atas, bakteri filosfer pembentuk kristal es harus mempunyai mekanisme yang unik, salah satunya dengan pembentukan protein kristal es.
Adanya protein kristal es memungkinkan bakteri untuk mematikan tanaman inangnya. Sel-sel dan jaringan tanaman yang mati akibat luka beku menjadi bocor atau rusak sehingga mudah diuraikan dan digunakan untuk nutrisi bakteri. Hipotesa ini memberikan konotasi negatif bagi bakteri pembentuk kristal es karena bersifat parasit.
Kedua, bakteri-bakteri yang hidup pada permukaan daun dihadapkan pada situasi yang berubah-ubah dengan cepat,. Pada siang hari yang panas banyak dari bakteri-bakteri tersebut diterbangkan angin sampai ketinggian tertentu sehingga sinar ultraviolet dan radiasi lainnya mudah membunuh bakteri-bakteri yang sedang beterbangan.
Meskipun demikian bakteri-bakteri yang mampu membentuk kristal es akan jatuh kembali ke permukaan tanah atau daun-daun yang merupakan habitat alaminya. Dalam hal ini bakteri pembentuk kristal es secara tidak langsung juga ikut berperan memelihara iklim mikro di sekitar tanaman-tanaman inangnya.
Hipotesa yang kedua ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena implikasinya sangat luar biasa : iklim mikro dapat dipengaruhi oleh komposisi, distribusi, dan jumlah bakteri pembentuk kristal es yang hidup di lingkungan tersebut. Berbagai bahan kimia dapat menjadi inti pembentukan inti kristal es pada tempetatur –10 0C atau lebih rendah, tetapi jarang sekali yang dapat membentuk inti kristal pada temperatur yang lebih hangat (yaitu –2 0C sampai –5 0C).
Meskipun aktifitas nukleasi es nampaknya hanya terbatas pada spesies-spesies bakteri gram negatif tersebut, tetapi karena penyebarannya luas dan jumlahnya yang banyak di belbagai habitat alam maka nukleasi es oleh bakteri menjadi fenomena alam yang umum.
Inti kristal es buatan bakteri merupakan protein unik yang dihamparkan pada membran luar sel bakteri pembentuknya. Protein tersebut disandikan oleh suatu gen tunggal yang disebut gen ice atau INA (ice necleation activity). Efektifitas protein pembentuk kristal es ditentukan oleh penataannya dipermukaan membran serta tingkat agregasinyua. Oleh karena itu aktifitas protein kristal es ini sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aktifitas nukleasi es pada sel bakteri yang mati atau bangkai bakteri kurang lebih sama dengan sel bakteri hidup. Informasi ini sangat penting untuk pemanfaatannya di tempat terbuka, seperti dalam proses hujan buatan.
Protein pembentuk kristal es yang merupakan produk dari gen ice atau INA telah dimanfaatkan untuk membuat salju buatan dan sudah dikomersialkan di amerika Serikat dengan merk dagang SNOWMAX. Produk ini memungkinkan terbentuknya salju pada kondisi temperatur udara yang lebih hangat daripada seharusnya.
Selain itu karena banyaknya dan tingginya aktifitas inti es yang ditebar maka salju yang dihasilkan berupa serbuk halus yang berkualitas tinggi untuk olah raga ski di daerah yang cukup dingin tetapi miskin salju.
Inti kristal es asal bakteri juga mulai dilirik kemungkinan pemakaiannya dalam makanan beku (frozen foods). Kelembutan tekstur es krim sangat ditentukan oleh ukuran kristal es yang terbentuk meskipun berbagai bahan kimia tambahan dapat membentuk tekstur yang diinginkan pada es krim. Adanya inti kristal yang dapat diatur jumlahnya akan sangat membantu dalam membentuk es krim atau produk sejenis dengan komposisi lebih sederhana.
Peranan Antagonistik
Khamir antagonis terhadap C. lagenarium diisolasi dari filosfer semangka dengan medium YM Agar. Khamir mempunyai kemampuan antagonisme dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan Colletotrichum lagenarium yang virulen terhadap tanaman semangka. Berdasarkan pengamatan mikroskopi diketahui terjadi parasitisme pada miselium C. lagenarium oleh isolat khamir dengan gejala pengempisan hifa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantawi et al. (1993) terdapat 26 spesies jamur yang berhasil diisolasi dari daun karet yang berasal dari kebun pembibitan karet Pusat Penelitian Perkebunan Getas. Menurut Leben (1971) pada daun apel terdapat banyak spesies jamur benang dan khamir, di mana 80-90 % di antaranya merupakan khamir. Beberapa jenis khamir (Cryptococus infirmo-miniatus, C. laurentii, Rhodotorula glutinis) efektif untuk mengendalikan penyakit pascapanen pada buah pear (Benbow dan Sugar, 1999).
Mikroorganisme antagonis berperan sebagai agen hayati. Campbell (1989) menyatakan bahwa pengendalian hayati mempunyai arti penting dalam upaya pengendalian penyakit tumbuhan karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain biayanya murah, aman terhadap pekerja, konsumen produk pertanian, dan lingkungan serta mempunyai efek pengendalian yang berkelanjutan. Menurut Jacobsen (1997), dalam hubungannya dengan implementasi PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengendalian hayati merupakan salah satu komponen utama karena PHT merupakan konsep dengan pendekatan yang memaksimalkan peranan pengendalian alamiah .
Sebagaimana telah dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya bahwa mikroorganisme antagonis dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen melalui mekanisme antibiosis (pembentukan antibiotik, bakteriosin, toksin dan enzim hidrolisis), parasitisme, dan kompetisi (Suzuki et al., 2000;).
Sebagian besar pekerjaan dibidang biokontrol masih dalam taraf percobaan dan kajian kelayakan ekonomi (Suwanto, 1994), seperti halnya biokontrol penyakit hawar daun bakteri masih dalam taraf pengujian di laboratorium dan rumah kaca. Hasil penelitian Khaeruni, et al (Data belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa terdapat sejumlah bakteri filosfer yang diisolasi dari daun padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun bakteri pada skala rumah kaca, demikian pula hasil penelitian Machmud dan Farida (1995), mendapatkan bahwa terdapat bakteri filosfer Pseudomonas kelompok fluorescens dan Bacillus sp yang juga diisolasi dari daun dan batang tanaman padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun pada padi secara in vitro.